Kaderisasi merupakan hal penting bagi sebuah organisasi,
karena merupakan inti dari kelanjutan perjuangan organisasi ke depan. Tanpa
kaderisasi, rasanya sangat sulit dibayangkan sebuah organisasi dapat bergerak
dan melakukan tugas-tugas keorganisasiannya dengan baik dan dinamis. Kaderisasi
adalah sebuah keniscayaan mutlak membangun struktur kerja yang mandiri dan
berkelanjutan.
Fungsi dari kaderisasi adalah mempersiapkan calon-calon
(embrio) yang siap melanjutkan tongkat estafet perjuangan sebuah organisasi.
Kader suatu organisasi adalah orang yang telah dilatih dan dipersiapkan dengan
berbagai keterampilan dan disiplin ilmu, sehingga dia memiliki kemampuan yang
di atas rata-rata orang umum. Bung Hatta pernah menyatakan kaderisasi dalam
kerangka kebangsaan, “Bahwa kaderisasi sama artinya dengan menanam bibit. Untuk
menghasilkan pemimpin bangsa di masa depan, pemimpin pada masanya harus
menanam.”
Dari sini, pandangan umum mengenai kaderisasi suatu
organisasi dapat dipetakan menjadi dua ikon secara umum. Pertama, pelaku
kaderisasi (subyek). Dan kedua, sasaran kaderisasi (obyek). Untuk yang pertama,
subyek atau pelaku kaderisasi sebuah organisasi adalah individu atau sekelompok
orang yang dipersonifikasikan dalam sebuah organisasi dan
kebijakan-kebijakannya yang melakukan fungsi regenerasi dan kesinambungan
tugas-tugas organisasi.
Sedangkan yang kedua adalah obyek dari kaderisasi, dengan
pengertian lain adalah individu-individu yang dipersiapkan dan dilatih untuk
meneruskan visi dan misi organisasi. Sifat sebagai subyek dan obyek dari proses
kaderisasi ini sejatinya harus memenuhi beberapa fondasi dasar dalam
pembentukan dan pembinaan kader-kader organisasi yang handal, cerdas dan matang
secara intelektual dan psikologis.
Sebagai subyek atau pelaku, dalam pengertian yang lebih
jelas adalah seorang pemimpin. Bagi Bung Hatta, kaderisasi sama artinya dengan
edukasi, pendidikan! Pendidikan tidak harus selalu diartikan pendidikan formal,
atau dalam istilah Hatta “sekolah-sekolahan”, melainkan dalam pengertian luas.
Tugas pertama-tama seorang pemimpin adalah mendidik. Jadi, seorang pemimpin
hendaklah seorang yang memiliki jiwa dan etos seorang pendidik.
Memimpin
berarti menyelami perasaan dan pikiran orang yang dipimpinnya serta memberi
inspirasi dan membangun keberanian hati orang yang dipimpinnya agar mampu
berkarya secara maksimal dalam lingkungan tugasnya. Sedangkan sebagai obyek
dari proses kaderisasi, sejatinya seorang kader memiliki komitmen dan tanggung
jawab untuk melanjutkan visi dan misi organisasi ke depan. Karena
jatuh-bangunnya organisasi terletak pada sejauh mana komitmen dan keterlibatan
mereka secara intens dalam dinamika organisasi, dan tanggung jawab mereka untuk
melanjutkan perjuangan organisasi yang telah dirintis dan dilakukan oleh para
pendahulu-pendahulunya.
Faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam hal kaderisasi
adalah potensi dasar sang kader. Potensi dasar tersebut sesungguhnya telah
dapat dibaca melalui perjalanan hidupnya. Sejauhmana kecenderungannya terhadap
problema-problema sosial lingkungannya.
Jadi, di sana ada semacam landasan berfikir atau filosofi
kaderisasi yang harus mendapatkan porsi perhatian oleh setiap
organisasi/pergerakan. Yaitu: harus ditemukan upaya mencari bibit-bibit unggul
dalam kaderisasi. Subyek harus mampu menawarkan visi dan misi ke depan yang
jelas dan memikat, serta menawarkan romantika dinamika organisasi yang
menantang bagi para kader yang potensial, sehingga mereka dengan senang hati
akan terlibat mencurahkan segenap potensinya dalam kancah organisasi. Untuk
dapat menjalankan peran tersebut, maka organisasi atau sebuah pergerakan harus
terlebih dahulu mematangkan visi-misi mereka; dan termasuk sikap mereka
terhadap persoalan mendesak dan aktual kemasyarakatan; serta pada saat yang
sama tersedianya para pengkader yang handal, untuk menggarap bibit-bibit
potensial tadi.
Kader-kader potensial, setelah mereka memahami dan meyakini
pandangan dan sistem yang telah diinternalisasikan, maka jiwanya akan terpacu
untuk bekerja, berkarya dan berkreasi seoptimal mungkin. Maka, di sini,
organisasi/pergerakan dituntut untuk dapat mengantisipasi dan menyalurkannya
secara positif. Dan memang sepatutnya organisasi/pergerakan mampu melakukannya,
karena bukankah yang namanya organsiasi/pergerakan berarti terobsesi progresif
bergerak maju dengan satu organisasi yang efisien dan efektif, bukan
sebaliknya?
Belakangan ini, sudah dimulai upaya ke arah kaderisasi yang
berorientasi pada karya dan aksi sosial dalam level general, berupa penumbuhan
dan stimulasi etos intelektual dan sosial. Jadi, bagaimana menggabungkan atau
menemukan konvergensi yang ideal antara aktifitas berpikir (belajar)
sebagai—entitas mahasiswa—dan aktifitas aksi sosial sebagai pengejawantahan
dari nilai-nilai tekstual-normatif. Dengan kata lain, harus ditemukan titik
keseimbangan antara nilai-nilai tekstual-normatif tadi dengan
realitas-kontekstualnya.
‘Alâ kulli hâl, tampaknya perlu dicermati kembali urgensi
dari kaderisasi berkala yang dilakukan oleh organisasi apapun. Kaderisasi
merupakan kebutuhan internal organisasi yang tidak boleh tidak dilakukan.
Layaknya sebuah hukum alam, ada proses perputaran dan pergantian disana. Namun
satu yang perlu kita pikirkan, yaitu format dan mekanisme yang komprehensif dan
mapan, guna memunculkan kader-kader yang tidak hanya mempunyai kemampuan di
bidang manajemen organisasi, tapi yang lebih penting adalah tetap berpegang
pada komitmen sosial dengan segala dimensinya.
Sukses
atau tidaknya sebuah institusi organisasi dapat diukur dari kesuksesannya dalam
proses kaderisasi internal yang di kembangkannya. Karena, wujud dari
keberlanjutan organisasi adalah munculnya kader-kader yang memiliki kapabilitas
dan komitmen terhadap dinamika organisasi untuk masa depan. Wallâh-u A’lam Bi
al-Shawâb
Kenapa
Harus Ada Kaderisasi?
Apa
yang kamu pikirkan pertama kali ketika mendengar kata kaderisasi?
Adegan
pukul-pukulan?
Adegan
bentak-bentakkan?
Push
up berantai?
Senioritas
atau junioritas?
Gelap-gelapan
di pedalaman gunung atau hutan?
Berjalan
jauh?
Atau
malah merangkak?
Ditutup
matanya di pemakaman sendirian?
Wah,
serem-serem banget! Itu sih bukan kaderisasi, melainkan sebuah balas dendam
kakak tingkat karena dahulu dia pernah merasakan ketegangan itu… ^^ *pis ah*
Lupain
dulu deh, yang gitu-gitu. Coba yuk, kita lihat lebih dekat, apa itu kaderisasi
dan kenapa harus ada?
Peran
kaderisasi:
1. Pewarisan
nilai-nilai organisasi yang baik
Proses transfer nilai adalah suatu proses untuk memindahkan
sesuatu (nilai) dari satu orang keorang lain (definisi Kamus Besar
Bahasa Indonesia). Nilai-nilai ini bisa berupa hal-hal yang tertulis atau yang
sudah tercantum dalam aturan-aturan organisasi (seperti Konsepsi, AD ART, dan
aturan-aturan lainnya) maupun nilai yang tidak tertulis atau budaya-budaya baik
yang terdapat dalam organisasi (misalnya budaya diskusi) maupun kondisi-kondisi
terbaru yang menjadi kebutuhan dan keharusan untuk ditransfer.
2. Penjamin
keberlangsungan organisasi
Organisasi yang baik adalah organisasi yang mengalir, yang
berarti dalam setiap keberjalanan waktu ada generasi yang pergi dan ada
generasi yang datang (ga itu-itu aja, ga ngandelin figuritas). Nah,
keberlangsungan organisasi dapat dijamin dengan adanya sumber daya manusia yang
menggerakan, jika sumber daya manusia tersebut hilang maka dapat dipastikan
bahwa organisasinya pun akan mati. Regenerasi berarti proses pergantian dari
generasi lama ke generasi baru, yang termasuk di dalamnya adanya pembaruan
semangat.
3. Sarana
belajar bagi anggota
Tempat di mana anggota mendapat pendidikan yang tidak
didapat di bangku pendidikan formal.Pendidikan itu sendiri berarti proses
pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam proses
mendewasakan manusia melalui proses pengajaran dan pelatihan.
Pendidikan di sini mencakup dua hal yaitu pembentukan dan
pengembangan. Pembentukan karena dalam kaderisasi terdapat output-output yang
ingin dicapai, sehingga setiap individu yang terlibat di dalam dibentuk
karakternya sesuai dengan output. Pengembangan karena setiap individu yang
terlibat di dalam tidak berangkat dari nol tetapi sudah memiliki karakter dan
skill sendiri-sendiri yang terbentuk sejak kecil, kaderisasi memfasilitasi
adanya proses pengembangan itu.
Pendidikan yang dimaksudkan di sini terbagi dua yaitu dengan
pengajaran (yang dalam lingkup kaderisasi lebih mengacu pada karakter) dan
pelatihan (yang dalam lingkup kaderisasi lebih mengacu pada skill).
Dengan
menggunakan kata pendidikan, kaderisasi mengandung konsekuensi adanya
pengubahan sikap dan tata laku serta proses mendewasakan. Hal ini sangat
terkait erat dengan proses yang akan dijalankan di tataran lapangan, bagaimana
menciptakan kaderisasi yang intelek untuk mendekati kesempurnaan pengubahan
sikap dan tata laku serta pendewasaan.
Posisi
Kaderisasi:
1. Strategis
Definisi
dalam KBBI, rencana yg cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran
khusus.Perlu ada perencanaan yang matang dalam organisasi agar tujuannya
tercapai, salah satunya adalah kaderisasi yang baik. Bila kaderisasi baik,
berarti internal organisasi tersebut baik. Bila internal kaderisasinya sudah
baik, semua tujuan organisasi bisa tercapai dan bisa ‘ekspansi’ ke wilayah
eksternal.
2. Vital
Ini
menunjukkan urgensi dari kaderisasi. Jika, kaderisasi mati, cepat atau lambat
organisasi pun akan mati karena organisasi tidak berkembang dan tidak mampu
mengaktualisasi dirinya.
Fungsi
kaderisasi:
1. Melakukan
rekrutmen anggota baru
Penanaman awal nilai organisasi agar anggota baru bisa paham dan bergerak
menuju tujuan organisasi.
2. Menjalankan
proses pembinaan, penjagaan, dan pengembangan anggota
Membina anggota dalam setiap pergerakkannya. Menjaga anggota dalam nilai-nilai
organisasi dan memastikan anggota tersebut masih sepaham dan setujuan.
Mengembangkan skill dan knowledge anggota agar semakin kontributif.
3. Menyediakan
sarana untuk pemberdayaan potensi anggota sekaligus sebagai pembinaan dan
pengembangan aktif
Kaderisasi
akan gagal ketika potensi anggota mati dan anggota tidak terberdayakan.
4. Mengevaluasi
dan melakukan mekanisme kontrol organisasi
Kaderisasi
bisa menjadi evaluator organisasi terhadap anggota. Sejauh mana nilai-nilai itu
terterima anggota, bagaimana dampaknya, dan sebagainya. (untuk itu semua,
diperlukan perencanaan sumber daya anggota sebelumnya)
Aspek
kaderisasi:
Kaderisasi haruslah holistik. Banyak aspek yang harus
tersentuh oleh kaderisasi untuk menghasilkan kader yang ideal. Aspek tersebut
adalah
1. Fisikal
(kesehatan)
2. Spiritual
(keyakinan, agama, nilai)
3. Mental
(moral dan etika, softskill, kepedulian)
4. Intelektual
(wawasan, keilmuan, keprofesian)
5. Manajerial
(keorganisasian, kepemimpinan)
Dari
setiap aspek, harus ada sinergi dan keseimbangan agar tiap aspek bisa menunjang
aspek yang lainnya sehingga potensi si kader teroptimalisasi.
Bentuk kaderisasi:
1. Kaderisasi pasif
1. Kaderisasi pasif
Kaderisasi pasif
dilakukan secara insidental dan merupakan masa untuk kenaikan jenjang anggota.
Pada momen ini, anggota mendapatkan pembinaan ‘learning to know’ dan sedikit
‘learning to be’. Pembinaan pasif sangat penting dan efektif dalam pembinaan
dan penjagaan.
2. Kaderisasi aktif
2. Kaderisasi aktif
Yaitu kaderisasi yang
bersifat rutin dan sedikit abstrak, karena pada kaderisasi ini, anggotalah yang
mencari sendiri ‘materi’-nya. Pada momen ini, anggota mendapatkan pembinaan
‘learning to know’, ‘learning to do’, dan ‘learning to be’ sekaligus. Maka
dalam hal ini sangat penting untuk dipahami, bahwa setiap rutinitas kegiatan,
haruslah memberdayakan potensi anggota sekaligus menjadi bentuk pembinaan dan
pengembangan aktif bagi anggota. Kaderisasi ini sangat baik dalam proses
pembinaan, penjagaan, dan pengembangan secara sistematis.
Profil Kader:
Terkadang,
orang-orang yang subjek kaderisasi (panitia) tidak memberi tahu kepada objek kaderisasi
(peserta), kader yang seperti apa yang ingin dibentuk atau dicapai. Hal
tersebut menyebabkan terjadi distorsi keberterimaan. Bisa jadi hal-hal penting
yang diberikan tidak diterima oleh objek kaderisasi.
Tetapi
itu masih lebih baik, dibanding tidak ada output kader yang ingin dicapai. Yang
penting tujuan organisasi tercapai, atau yang lebih parah, yang penting ada
kaderisasi. Profil kader termasuk ke dalam hal-hal yang harus disiapkan atau
ditargetkan prakaderisasi. Profil ini bisa terkait dalam 4 hal (contoh
saja):
1. Berhubungan
dengan diri si kader (pengembangan diri kader: wawasan, kemampuan)
2. Berhubungan
dengan organisasi (kader yang mau berkontribusi untuk organisasi)
3. Berhubungan
dengan masyarakat (kader yang bisa menjadi solusi bagi permasalahan bangsa)
4. Berhubungan
dengan basis organisasi (kader harus sesuai dengan basis organisasi, misal:
keilmuan, keprofesian, minat, bakat)
Profil
kader ini tidak hanya digunakan ketika kaderisasi yang bersifat insidental saja
(event), tetapi juga kaderisasi berkelanjutan yang beriringan dengan aktivitas
organisasi. Selain itu, tidak cukup hanya menjadikan calon kader menjadi objek
kaderisasi. Sebaiknya kita juga ‘melakukan sesuatu’ kepada lingkungan atau
suasana di sekitar calon kader agar lebih kondusif untuk mencapai profil-profil
ini. Misal, pengkader harus telah mencapai profil si calon kader. Sehingga
calon kader memiliki role model langsung (bisa terjadi percepatan
pembelajaran).
***
Membangun Kaderisasi
pada Organisasi Kampus
Membangun
organisasi bukanlah sekadar mengikuti alur dan peranan Tuhan yang disebut
takdir. Setiap orang tahu itu. Tapi tidak semua menjalankannya dengan sadar.
Membangun organisasi layaknya merawat sebuah pohon, di mana ada tujuan akhir
yang menjadi alasan organisasi ini masih berdiri, tujuan besar ini kemudian
diejawantahkan dalam rencana-rencana jangka panjang, menengah dan pendek. Ada
pelaku/subjek organisasi, lalu ada struktur yang jelas, metode kerja yang
sesuai dengan organisasinya. Tentunya banyak sekali untuk menjelaskan filosofi
organisasi, tapi yang ingin saya tuju adalah bahwa kesadaran akan visi dan misi
organisasi inilah yang penting untuk membangun kapasitas organisasi yang lebih
baik, dan tentunya berimbas pada kaderisasi setelah itu.
Visi
dan misi sebuah organisasi yang jelas, akan berimbas pada pelaku (atau biasa
disebut pengurus)-nya. Imbas inilah yang dicari, didambakan, diharapkan setiap
pelaku organisasi. Misalnya ketika visi saya adalah membangun sebuah rumah,
jelas orang yang membantu membangun rumah saya akan merasakan rumah yang megah
nantinya, disamping pengerjaannya yang penuh canda tawa, kekeluargaan, kerja
keras, pembelajaran pekerjaan atau sikap, soliditas, kebanggaan akan jabatan
dan profesionalisme, bahkan tak ayal jika sesama pembangun rumah saling mengenal
dan bisa bekerja sama di ladang yang lain. Imbas inilah yang saya sebut manfaat
organisasi.
This
is what peoples find in the campus. Mereka tidak
dibayar dengan uang untuk bekerja, mengorbankan waktu belajar dan bermain hanya
untuk berkutat dengan marketing call, atau proposal kegiatan yang ribetnya
setengah mati. They are paid with experience, skill, self-development,
and dignity of his/her organisation. Mereka berharap akan ada sesuatu
yang tumbuh dari pengorbanan mereka selama ini. Mereka berharap ada jaringan
yang didapat, pengalaman, dan keahlian yang diturunkan dari senior atau
extraordinat-nya. Maka, manfaat pragmatis ini tidak bisa dianggap sepele.We
need to explore it, and sell it to our ‘customer’.
Contoh
riilnya yang saya alami adalah pada dua organisasi besar ini ternyata kalah
dengan sebuah kepanitiaan (walau juga besar, scopenya nasional). Dengan jumlah
staf yang mendaftar berjumlah 200 orang, kepanitiaan ini hanya menerima kurang
lebih 50 orang untuk menjadi bagian dari tim tersebut. Masa kerja terhitung
satu tahun kurang lebih, artinya tidak jauh berbeda dibandingkan organisasi
struktural. Kemudian kita lihat totalitas, profesionalitas orang orangnya, saya
pikir masih jauh lebih unggul kepanitiaan ini. Mengapa bisa demikian? Karena
kepanitiaan ini telah belasan tahun terpercaya mendevelop orang-orang yang ada
di dalamnya untuk bekerja secara profesional, on time, keahlian yang tinggi,
fokus yang luar biasa, dengan tidak menghilangkan unsur-unsur kekeluargaan
serta kedekatan personal. Ini yang satu benchmark yang saya pikir pantas untuk
ditiru. Tujuan dan manfaat organisasi yang nyata dan terorganisir dengan baik
merupakan kunci sukses dari capacity development dan suksesi
yang lebih baik .
Pendek
kata, jika organisasi terkenal baik, prestigeous, profesional,
pastilah orang berbondong-bondong masuk. We need to develop our
internal capability, prove it with our work, sell the ‘product’ and let
people know it and buy it. Suksesi yang lebih baik bukan sekadar
keniscayaan.
Post-Gerakan Mahasiswa
REFORMASI 1998
yang digulirkan oleh gerakan mahasiswa secara serentak telah menorehkan tinta
emas sejarah demokrasi di Indonesia. Gegap gempita keberhasilan gerakan
mahasiswa disambut riuh dengan tumbuhnya demokrasi dan tumbangnya rezim orde
baru.
Lalu bagaimana dengan
gerakan mahasiswa sekarang?
Pascareformasi
1998, banyak kalangan menilai telah hilang arah gerakan dan perjuangan
mahasiswa. Ada beberapa hal yang menyebabkan hilangnya perjuangan mahasiswa.
Pertama, hilangnya daya kritis mahasiswa, karena mahasiswa kini disibukkan
dengan pesta demokrasi prosedural kampus dan diperparah dengan konflik antar
gerakan mahasiswa yang tak kunjung reda. Kedua, kuatnya budaya patronase serta
afiliasi gerakan mahasiswa terhadap senior-senior mereka yang berada di
pemerintahan, parpol, maupun LSM.
Meskipun
demikian sepatutnya masyarakat tidak bersikap pesimis terhadap gerakan
mahasiswa saat ini. Pasalnya, beberapa mahasiswa menyadari akan permasalahan
krisis gerakan mahasiswa ini. Dan untuk keluar dari permasalahan ini mereka
memilih pada jalur post-gerakan mahasiswa.
Term
Post-gerakan mahasiswa merupakan analogisasi dari post-modernisme yang berarti
tidak ada kaitan dan tanggung jawab terhadap modernisme tetapi kondisi
melampaui modern. Begitu juga dengan Post-gerakan mahasiswa yang merevitalisasi
arah perjuangan gerakan mahasiswa tanpa ada kungkungan senioritas serta
purifikasi gerakan mahasiswa dengan basis intellektual kritis. Berbeda dengan
neo-modernisme Post-gerakan mahasiswa merupakan gagasan pembaharuan terhadap
gerakan mahasiswa engan mengkombinasikan beberapa ide.
Pertama,
konsep intelektual organik Gramsci sebagai basis gerakan. Maksud intellektual
organik adalah seorang aktifis yang bermanfaat terhadap masyarakat
disekitarnya. Kedua, ideology kritis sebagai ideology gerakan. Serta militansi
kuat terhadap intellektualitas dan kebenaran.
Peluang
post-gerakan mahasiswa memang berat jika dihadapkan dengan gerakan mahasiswa
mainstream. Tetapi, dengan munculnya komunitas-komunitas post-gerakan mahasiswa
ini paling tidak mencoba untuk membangun pondasi awal demokrasi dari wilayah
intellektual.
Seperti
komunitas-komunitas diskusi dan kajian mahasiswa yang bermunculan di Ciputat.
Beberapa komunitas post-gerakan mahasiswa tersebut misalnya: Piramida Circle,
Formaci, eRSOUS, LS-ADI, Makar Institute, Senjakala, Forum KOPI, dll.
Peran Penting
Kaderisasi dalam Memperkokoh Organisasi
Saya
ingin mengawali tulisan ini dengan perkataan aristoteles di dalam bukunya yang
berjudul La Politic bahwa setiap imperium yang tidak mampu memberikan
pendidikan bagi generasi berikutnya maka tunggu saja waktunya imperium itu akan
mengalami masa kehancuran. Begitu pentingnya pendidikan sehingga apabila kita
berbicara pendidikan maka sama pentingnya dengan membicarakan keberlangsungan
organisasi, imperium atau bentuk kumpulan manusia apa pun.
Sebuah
negara hanya akan besar apabila negara tersebut memiliki sumber daya manusia
yang berkualitas untuk berpartisipasi dalam jalannya roda kenegaraan. Tentu
sumber daya manusia barulah mengalami kualifikasi ketika manusia-manusia-nya
diberikan pendidikan yang baik pula. Pendidikan merupakan satu-satunya
instrument untuk mencetak sumber daya manusia yang berkualitas, terlepas apa
pun bentuk dan metodenya. Anggap saja kita diberikan hak untuk mengkategorikan
mana saja negara-negara di dunia ini yang bisa diklasifikasikan sebagai negara
maju, maka apa yang akan kita jadikan tolak ukur untuk menilainya? Kalau
pembaca menanyakan kepada saya hal tersebut, tentu dengan segera saya menjawab
bahwa pendidikan adalah tolak ukur utama apakah negara dapat dikatakan maju
atau tidak.
Indonesia
di dalam preamble UUD 1945 tegas diguratkan bahwa negara dibangun yakni salah
satunya adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Juga dikatakan agar
pemerintah mengalokasikan minimal 20% anggaran di dalam APBN sebagai bentuk
realisasi pembangunan sumber daya manusia lewat pendidikan yang baik walau
penganggaran saja tidaklah cukup tanpa disertai dengan pembenahan di sisi
lainnya seperti infrastruktur, kualitas pengajar, kurikulum yang baik serta
suasana hidup di lingkungan pendidikan tersebut. Mari kita sejenak bercermin
kepada negara kecil yang kemajuannya sangat pesat di wilayah asia tenggara.
Singapuara misalnya, negara ini seperti yang pernah dikatakan oleh Prof Goh
Chor Boon Wakil Direktur NIE (National Institute of Education), salah satu
lembaga pendidikan pemerintah terbesar di Singapura, yang mengatakan. “Kami
tidak punya sumber daya alam, kami tidak punya tambang, kami hanya punya human
resourses. Kalau kami tidak punya pendidikan yang baik maka kami tidak akan
bertahan.” Penegasan ini, tampaknya bisa dilihat dari anggaran pendidikan
Singapura kedua tertinggi setelah anggaran pertahanan. Data tahun 2003:
anggaran pendidikan Singapura mencapai 27%, Malaysia 22% dan 2008 mencapai 26%,
sementara Thailand 21%. Malaysia yang dulu mengimpor guru Indonesia,
telah jauh melesat. Dengan komposisi anggaran yang besar, pemerintahnya sukses
menanggung beasiswa pelajar dan mahasiswa di luar negeri. Dan Singapura Si Negara
Kota, mengaku telah melewati fase Pembangunan Landasan Riset dan Pengembangan
sejak lama, yang ditandai salah satunya dengan pendirian Dewan Teknologi dan
Sains Nasional tahun 1991.
Dalam
konteks partai, kita juga bisa melihat pola pendidikan atau kaderisasi yang
diterapkan untuk membangun kader-kader yang diharapkan menjalankan visi-misi
partai. Lemahnya kaderisasi di dalam partai akan berdampak langsung terhadap
melemahnya partai. Tanpa kader yang kuat tidak ada organisasi kokoh bisa
terbentuk, begitu juga sebaliknya tanpa organisasi yang kokoh sulitlah
melakukan kaderisasi yang baik. Sudah barang tentu kedua hal tersebut harus
berjalan seiring layaknya mobil dan bensin dimana tanpa salah satu maka
keduanya tidak akan bermakna apa-apa.
Saya
ingin mengajak pembaca untuk sedikit bersantai ria bercerita tentang film three
hundreds (300) yang mengisahkan tentang perjuangan 300 pejuang spartan yang
mempertahankan tanah air dari serangan bangsa luar. Kita tidaklah perlu
mempersoalkan apakah hal tersebut benar-benar pernah terjadi atau tidak, karena
saya hanya bermaksud untuk menstimulir kita dalam berimajinasi tentang
kaderisasi. Lihatlah film tersebut, bangsa spartan hanya menggunakan 300
pejuang dalam peperangan melawan ribuan musuh-musuhnya dengan senjata yang lengkap.
Apa yang membuat pejuang-pejuang tersebut mampu mengimbangi musuh dalam
peperangan tersebut. Kita bisa melihat mereka memiliki strategi yang kuat,
strategi yang membaca dan memanfaatkan medan peperangan dengan baik demi
keuntungan barisannya. Mereka juga memiliki kedisiplinan gerakan dan ketaatan
komando serta koordinasi yang baik antar setiap personil sehingga
formasi-formasi barisan dengan mudah dibentuk dan memang benar-benar kokoh.
Kedisiplinan dan militansi benar-benar terlihat dan merasuki setiap jiwa
pejuang tersebut, terlebih film ini menggambarkan nyawa dari keberanian
pejuang-pejuang tersebut yakni rasa cinta mereka terhadap tanah air dan bangsa
yang kita kenal dengan nasionalisme. Itulah yang menjadi nyawa dari keberanian
para pejuang-pejuang sparta.
Baiklah
kita tafikan sejenak persoalan fantasi film yang barusan kita bicarakan, mari
kita sejenak memperhatikan realita kehidupan yang terjadi di dunia ini. Ketika
kita terlahir ke dunia ini, kita langsung dihadapkan pada alam dimana kita harus
beradaptasi dan berinteraksi dengan segala sesuatu di luar kita. Kita yang
tadinya tidak bisa berbahasa kemudian perlahan diberikan sentuhan linguistik
oleh pertama-tama ibu, lalu oleh lingkungan sekitar, sampai kita mampu
berkomunikasi dengan menggunakan bahasa, tadinya yang kita hanya bisa terbaring
kemudian mampu untuk berjalan bahkan berlari, awalnya kita minum asi kemudian
kita bisa memakan nasi. Saya menceritakan ini agar pembaca melihat realitas
terdekat bahwa sesungguhnya kita dari sejak lahir hingga saat ini telah
mengalami perkembangan diri, sekali lagi saya katakan apapun cara dan media
yang membuat kita berkembang tidaklah begitu saya persoalkan, karena itu
relatif, namun hal terpenting yang mau sampaikan bahwa proses perkembangan
tersebut bisa kita katakan kaderisasi dalam konteks luas. Atau lebih ekstrim
lagi, seluruh proses kehidupan yang ada di dunia ini apapun bentuknya, disadari
atau tidak, bila kita pandang dari segala perspektif merupakan bentuk
kaderisasi. Pernyataan tersebut senada dengan pernyataan yang pernah
dilontarkan oleh bapak pendidikan nasional KI HAJAR DEWANTARA bahwa semua
adalah guru, dan setiap tempat adalah perguruan.
Marilah
sedikit kita persempit konteks pembicaraan kita dalam lingkup organisasi. Tidak
perlu saya jelaskan lebih panjang terkait apa itu organisasi? Dan kenapa
pembahasannya harus dibedakan dengan komunitas atau kumpulan-kumpulan lain.
Cukuplah kita mengetahui bahwa organisasi merupakan sekumpulan orang yang
memiliki tujuan (cita-cita) dan akan kita capai dengan langkah-langkah
tertentu. Untuk mencapai tujuan tersebut manusia-manusia yang ada di dalamnya
diberi aturan-aturan demi pendisiplinan mencapai tujuan.
Kenapa
begitu penting kita harus menata kaderisasi di tubuh organisasi? Ini yang harus
kita jawab dengan lantang dan tegas agar kita memiliki arah dalam mengarungi
samudra pemakanaan terhadap satu kata yakni kaderisasi. Di atas telah kita ulas
bahwa organisasi memiliki tujuan. Bagaimana tujuan itu dapat tercapai apabila
sekumpulan orang tersebut tidak memahami secara utuh apa tujuannya dan
bagaimana langkah-langkah mencapai tujuan. Lalu apakah ketika mereka tahu
secara utuh tentang tujuan dan langkah-langkah mencapai tujuan dengan
sendirinya kita akan mau bergerak mewujudkan cita-cita organisasi? Kemauan mensyaratkan
adanya semangat, dan tentulah mereka yang ada di organisasi harus dibangkitkan
semangatnya untuk merealisasikan tujuan organisasi. Kita andaikan saja semua
orang di dalam tubuh organisasi telah memiliki semangat dan kemauan untuk
mengimplementasikan tujuan, saya kemudian bertanya sekali lagi, apakah setelah
mereka memiliki pengetahuan tentang tujuan, semangat untuk mencapai tujuan, dan
mau untuk mencapai tujuan itu dengan sendirinya kita akan melakukan pergerakan?
Saya tegaskan belum tentu. Kita harus melihat variabel resiko di dalamnya.
Setelah mereka tahu, semangat dan mau dan kemudian mereka dihadapkan kepada
resiko-resiko tertentu, mungkin timbul kebimbangan untuk bergerak di jalan yang
sudah ditentukan. Oleh karena itu tahap mau haruslah dirubah menjadi tahapan
bertindak atau bergerak dan hal tersebut mensyaratkan adanya pengorbanan.